Askep : Fraktur cervikal

A. KONSEP MEDIS
1. Pengertian
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb (Sjamsuhidayat, 1997).
Fraktur tulang leher merupakan suatu keadaan darurat medis yang membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin terkait cedera saraf tulang belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, sehingga sangat penting untuk menjaga leher .Fraktur ini sering terjadi pada anak karena kondisi tulang masih sangat rawan untuk tumbuh dan berkembang.
Fraktur tulang leher sangat berbahaya karena bisa mengganggu sistem saraf yang terdapat pada vertebra. Hal ini bias mengakibatkan gangguan-gangguan neurologis. Bahkan fraktur pada tulang leher bisa menyebabkan seorang anak mengalami lumpuh.
2. Etiologi
 Trauma
Fraktur servikal paling sering disebabkan oleh benturan kuat, atau trauma pukulan di kepala. Pada anak fraktur tulang leher sering terjadi karena anak terjatuh. Mungin juga cedera tersebut diakibatkan karena kekerasan yang dialami anak.
 Penyakit
Ada beberapa penyakit yang bisa menyebabkan mudahnya terjadi fraktur pada anak. Terutama penyakit yang disebabkan oleh karena defisiensi kalsium.
 Kontraksi yang berlebihan
3. Pertolongan Pertama untuk Fraktur Servikal
Setiap cedera kepala atau leher harus dievaluasi adanya fraktur servikalis. Sebuah fraktur servikal merupakan suatu keadaan darurat medis yang membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin terkait cedera saraf tulang belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, sehingga sangat penting untuk menjaga leher .
Jika ada kemungkinan patah tulang leher, leher pasien tidak boleh digerakkan sampai tindakan medis diberikan dan X-ray dapat diambil. Itu jalan terbaik untuk mengasumsikan adanya cedera leher bagi siapa saja yang terkena benturan, jatuh atau tabrakan.
4. Manifestasi klinik
 Nyeri kepala
 Nyeri yang menjalar ke bahu atau lengan
 Memar dan bengkak di bagian belakang leher
 Kelumpuhan organ-organ terutama. Hal ini terjadi karena adanya gangguan atau bahkan putusnya sitem saraf pada daerah spinal yang terjepit oleh tulang yang patah pada daerah tersebut.
5. Patofisiologi
Terjadinya trauma pada daerah tulang leher mengakibatkan fraktur. Akibat kondisi seperti ini, pusat-pusat persarapan akan terjadi gangguan. Gangguan ini diakibatkan karena terjepitnya saraf-saraf yang melalui daerah vertebra.
Karena vertebra merupakan pusat persarapan bagi berbagai organ, maka kerja organ-organ tersebut akan terganggu atau bahkan mangalami kelumpuhan, akibat fraktur ini pula, akan mengakibatkan blok saraf parasimpasi dan pasien akan mengalami iskemia dan hipoksemia. Dan akhirnya akan mengalami gangguan kebutuhan oksigen
Cedera yang terjadi juga akan mengakibatkan pelepasan mediator-mediator kima yang akan menimbulkan nyeri hebat dan akut selanjutnya terjadi syok spinal dan pasien akan merasa tidak nyaman.
Gangguan sistem saraf spinal akan mengakibatkan kelumpuhan pada organ-organ pencernahan dan sistem perkemihan. Dan masalh yang akan terjadi adalah gangguan eliminasi.
6. Klasifikasi
 Subluksasi atlantoaksial:
Rongga antara setinggi odontoid dan bagian posterior dari C1 harus tidak lebih dari 3 mm pada orang dewasa dan 5 mm pada anak-anak.
 Fraktur Jefferson:
Fraktur yang keras di lateral C1 akibat cedera kompersi pada verteks tengkorak
 Fraktur peng Odontoid
 Fraktur Hangman:
cedera hyperekstensi pada C2 yang menyebabkan fraktur pedikel.
 Fraktur teardrop:
Suatu fragmen kecil mengalami avulsi dari badan vertebra anterior bagian bawah
 Fraktur badan vertebra
Fraktur kompresi pada tubuh

Penyimpangan KDM


Pemeriksaan diagnostik

 Sinar x spinal : menlentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
 CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
 MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
 Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
 AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
7. Penatalaksanaan
Penanganan fraktur servikal tergantung vertebra servikalis apa yang rusak dan luasnya fraktur.
 Fraktur minor sering diperlakukan menggunakan cervical collar atau neck brace yang dipakai selama enam sampai delapan minggu sampai tulang sembuh dengan sendirinya.
 Hormon Progesteron untuk Trauma Capitis Berat
 Suatu fraktur yang lebih berat atau kompleks mungkin memerlukan traksi, atau perbaikan bedah atau fusi tulang belakang.
 Bedah perbaikan patah tulang servikalis dapat mengakibatkan waktu pemulihan yang lama diikuti dengan terapi fisik.

B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
 Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal
 Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, hipotensi, bradikardia ekstremitas dingin atau pucat
 Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut, peristaltik usus hilang
 Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas, gelisah dan menarik diri.
 Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
 Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
 Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid, hilangnya sensai dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi pupil, ptosis.
 Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma, dan mengalami deformitas pada derah trauma.
 Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
 Keamanan : suhu yang naik turun
Pemeriksaan Fisik
 Tinjauan umum
1) Keadaan umum
2) Gaya berjalan
3) Postur
4) Aktivitas fisik
5) Penampilan fisik umum
 Inspeksi
1) Kesimetrisan bagian tubuh
2) Ekimosis
3) Laserasi
4) Deformitas yg tampak
5) Massa
6) Warna kulit
7) Deformitas kongenital
 Palpasi
1) Krepitus
2) Suhu
3) Konsistensi otot
4) Massa
5) Nyeri tekan
6) Deformitas
7) Pembengkakan
 Move (pergerakan)
1) Nyeri saat bergerak
Rentang gerak sendi
2. Diagnosa keperawatan
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan
c. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera
d. Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum
e. perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan
f. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama
3. Intervensi keperawatan
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen
Kriteria hasil : ventilasi adekuat, PaO2 > 80, PaCo2 < 45, rr = 16-20 x/mt, tanda sianosis – Intervensi keperawatan : 1. Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak. Rasional : pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan nafas. 2. Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik sekret. Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret, dan mengurangi resiko infeksi pernapasan. 3. Kaji fungsi pernapasan. Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan secara partial, karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan. 4. Auskultasi suara napas. Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi sekret yang berakibat pnemonia. 5. Observasi warna kulit. Rasional : menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan tindakan segera 6. Kaji distensi perut dan spasme otot. Rasional : kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan diafragma 7. Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari. Rasional : membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret sebagai ekspektoran. 8. Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan. Rasional : menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan pernapasan. 9. Pantau analisa gas darah. Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas sebagai contoh : hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat. 10. Berikan oksigen dengan cara yang tepat : metode dipilih sesuai dengan keadaan isufisiensi pernapasan. 11. Lakukan fisioterapi nafas. Rasional : mencegah sekret tertahan b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan Tujuan perawatan : selama perawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi sampai cedera diatasi dengan pembedahan. Kriteria hasil : tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien mampu beraktifitas kembali secara bertahap. Intervensi keperawatan : 1. Kaji secara teratur fungsi motorik. Rasional : mengevaluasi keadaan secara umum 2. Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan. Rasional memberikan rasa aman 3. Lakukan log rolling. Rasional : membantu ROM secara pasif 4. Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki. Rasional mencegah footdrop 5. Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling. Rasional : mengetahui adanya hipotensi ortostatik 6. Inspeksi kulit setiap hari. Rasional : gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan integritas kulit. 7. Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam. Rasional : berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan spastisitas. c. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera Tujuan keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan pengobatan Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang Intervensi keperawatan : 1. Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5. Rasional : pasien melaporkan nyeri biasanya diatas tingkat cedera. 2. Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus. Rasional : nyeri dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung kemih dan berbaring lama. 3. Berikan tindakan kenyamanan. Rasional : memberikan rasa nayaman dengan cara membantu mengontrol nyeri. 4. Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi. Rasional : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol. 5. Berikan obat antinyeri sesuai pesanan. Rasional : untuk menghilangkan nyeri otot atau untuk menghilangkan kecemasan dan meningkatkan istirahat. d. Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum. Tujuan perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi alvi/konstipasi Kriteria hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali Intervensi keperawatan : 1. Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya. Rasional : bising usus mungkin tidak ada selama syok spinal. 2. Observasi adanya distensi perut. 3. Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT. Rasional : pendarahan gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma dan stress. 4. Berikan diet seimbang TKTP cair : meningkatkan konsistensi feces 5. Berikan obat pencahar sesuai pesanan. Rasional: merangsang kerja usus e. perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan. Tujuan perawatan : pola eliminasi kembali normal selama perawatan Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada Intervensi keperawatan: 1. Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam. Rasional : mengetahui fungsi ginjal 2. Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih. 3. Anjurkan pasien untuk minum secukupnya. Rasional : membantu mempertahankan fungsi ginjal. 4. Pasang dower kateter. Rasional: membantu proses pengeluaran urine f. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama Tujuan keperawatan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama perawatan Kriteria hasil : tidak ada dekibitus, kulit kering Intervensi keperawatan : 1. Inspeksi seluruh lapisan kulit. Rasional : kulit cenderung rusak karena perubahan sirkulasi perifer 2. Lakukan perubahan posisi sesuai pesanan Rasional: untuk mengurangi penekanan kulit 3. Bersihkan dan keringkan kulit. Rasional: meningkatkan integritas kulit 4. Jagalah tenun tetap kering. Rasional: mengurangi resiko kelembaban kulit 5. Berikan terapi kinetik sesuai kebutuhan Rasional : meningkatkan sirkulasi sistemik dan perifer dan menurunkan tekanan pada kulit serta mengurangi kerusakan kulit. 4. Implementasi  Pertahankan imobilasasi terutama bagian kepala dan leher  Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.  Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan  Kaji keseluruhan panjang ekstremitas yang cedera untuk pembengkakan/pembentukan edema.  Lakukan pengkajian neuromuskuler. Perhatikan perubahan fungsi motor/sensori  Atasi jaringan cedera/tulang dengan lembut, khususnya selama beberapa hari pertama.  Perhatikan peningkatan kegelisahan,kacau,letargi,stupor.  Awasi frekuensi pernapasan dan upayanya. Perhatikan stridor, penggunaan otot bantu, retraksi, terjadinya sianosnis sentral.  Bantu/dorong perawatan diri/kebersihan  Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.  Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi  Observasi keadaan kulit, penekanan cervical collar atau neck brace  Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi pen.  Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi  Kaji kesiapan klien mengikuti program pembelajaran.  Diskusikan metode mobilitas dan ambulasi sesuai program terapi fisik. 5. Evaluasi Dx1: : ventilasi adekuat, PaO2 > 80, PaCo2 < 45, rr = 16-20 x/mt, tanda sianosis – Dx2 : tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien mampu beraktifitas kembali secara bertahap. Dx 3 : melaporkan rasa nyerinya berkurang Dx 4 : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali Dx 5: produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada Dx 6 : tidak ada dekibitus, kulit kering   DAFTAR PUSTAKA Doenges.E.,Marilyn., dkk.2002.Rencana asuhan Keperawatan ed.3. Jakarta. EGC. Hidayat A. Aziz Alimul, S.Kp. 2008. Buku Saku Praktikum Keperawatan Anak. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran ECG.Jakarta. Jones & Bartlett Publisher, Inc.2007.Pertolongan Pertama dan RJP pada Anak, Ed. 4. Jakarta.Arcan. Patel R. Pradip.2007.Radiologi Edisi 2. Jakarta.Penerbir Erlangga. Nurachmah Elly & Ratna S. 2000. Buku Saku Prosedur Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta.EGC.

Komentar